Menu bar

Minggu, 25 Januari 2015

Ketahanan Nasional “Perbatasan”



Ketahanan Nasional “Perbatasan”
Tugas ke lima














Nama               : Nur Indra Perkasa
Kelas                : 1KB03
Jurusan            : Sistem Komputer
NPM                 : 28114168













Universitas Gunadarma
Pendidikan Kewarganegaraan
2015



Ketahanan Nasional di Wilayah Perbatasan Indonesia


 KETAHANAN NASIONAL
DI
PERBATASAN INDONESIA – SINGAPURA

Saat ini perbatasan laut antara wilayah Indonesia dengan Singapura sedang diperdebatkan, terkait dengan klaim daratan hasil reklamasi yang dibuat oleh Singapura sebagai titik dasar penetapan batas wilayah laut antara kedua negara. Pemerintah Indonesia tak mau mengakui wilayah darat hasil reklamasi wilayah laut Singapura
Penentuan titik-titik koordinat pada Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura didasarkan pada prinsip sama jarak (equidistance) antara dua pulau yang berdekatan. Pengesahan titik-titik koordinat tersebut didasarkan pada kesepakatan kedua pemerintah.Titik-titik koordinat itu terletak di Selat Singapura. Isi pokok perjanjiannya adalah garis Batas Laut Wilayah Indonesia dan laut wilayah Singapura di Selat Singapura yang sempit (lebar lautannya kurang dari 15 mil laut) adalah garis terdiri dari garis-garis lurus yang ditarik dari titik koordinat.
Namun, di kedua sisi barat dan timur Batas Laut Wilayah Indonesia dan Singapura masih terdapat area yang belum mempunyai perjanjian perbatasan. Di mana wilayah itu merupakan wilayah perbatasan tiga negara, yakni Indonesia, Singapura dan Malaysia. Pada sisi barat di perairan sebelah utara pulau Karimun Besar terdapat wilayah berbatasan dengan Singapura yang jaraknya hanya 18 mil laut. Sementara di wilayah lainnya, di sisi timur perairan sebelah utara pulau Bintan terdapat wilayah yang sama yang jaraknya 28,8 mil laut. Kedua wilayah ini belum mempunyai perjanjian batas laut.


Perkembangan Konflik Perbatasan Indonesia – Singapura
Hubungan dengan tetangga dekat bisa jadi lebih rawan konflik daripada hubungan dengan negara yang jauh. Hal ini tercermin dalam masalah hubungan Indonesia dengan Singapura. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia dan Singapura adalah dua negara tetangga paling dekat dan saling membutuhkan. Kedua negara memiliki hubungan harmonis, terutama pada era Suharto. Hal ini tidak lepas dari peran mantan presiden Suharto yang di hadapan PM Lee memiliki kharisma, kualitas kepribadian yang diakui memegang peranan penting sebagai kekuatan tak nampak dalam hubungan diplomatik. Seiring dengan mundurnya kedua mantan kepala pemerintahan senior itu diiringi dengan berbagai perkembangan yang mempengaruhi kedua negara, hubungan harmonis itu menurun kualitasnya. Konflik RI-Singapura, sekalipun masih dapat dinilai “cukup baik”, mengalami beberapa gangguan yang belum teratasi.
Konflik antara Indonesia dengan Singapura, terutama setelah reformasi, bukanlah yang pertama kali terjadi. Menoleh ke belakang, beberapa gangguan dalam hubungan diplomatik kedua negara ini dipicu oleh berbagai persoalan, seperti masalah “perang urat syaraf” antara mantan Presiden Habibie dengan mantan PM Lee Kuan Yew dan dilanjutkan dengan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, menyusul soal tuntutan RI soal perjanjian ekstradisi untuk pengembalian para penjahat ekonomi, masalah kabut asap dan terakhir sengketa pasir.
Kasus konflik pasir ini ironis, bahwa sebuah negara sangat kecil dapat mengancam keselamatan wilayah sebuah negara besar “hanya” dengan cara membeli seonggok demi seonggok sarana pembatas wilayah. Singapura menolak larangan tersebut karena, seperti yang dikatakan Menlu George Yeo, Indonesia tidak memiliki landasan untuk melarang ekspor pasir. Hal ini sangat merugikan bangsa kita Indonesia.
Sengketa pasir berawal dari dilarangnya ekspor pasir Indonesia ke semua negara, termasuk ke Singapura. Larangan ekspor pasir yang dikeluarkan pemerintah ini sangat tepat, mengingat kerugian yang ditimbulkannya sangat mengancam keselamatan lingkungan dan eksistensi negara kita karena berubahnya peta wilayah RI. Pengerukan pasir yang terus menerus dapat mengakibatkan berbagai kerawanan lingkungan yang mengancam keselamatan penduduk Indonesia, terutama di daerah pesisir pantai.
Selama ini Singapura adalah salah satu pengimpor pasir terbesar dari Indonesia. Ini dilakukan sejalan dengan lajunya tingkat industri konstruksinya sehubungan dengan proyek reklamasi pantainya. Seperti yang dinyatakan oleh Inspektur Jendral TNI AL, Mayjend Mar Nono Sampono, akibat reklamasi besar-besaran tersebut, perbatasan kedua negara mengalami perubahan yang dampaknya sangat merugikan Indonesia. Reklamasi pantai-pantai di Singapura menyebabkan daratan negara kota itu bertambah 12 km ke arah perairan Indonesia, sedangkan wilayah perairan Indonesia berkurang 6 km. Jika tidak segera dihentikan, maka luas wilayah Indonesia akan terus berkurang dan Singapura akan memiliki daratan lebih luas daripada yang dimilikinya saat ini.
Tergerusnya wilayah perairan Indonesia diperparah dengan menyempitnya wilayah daratan Indonesia. Contohnya, beberapa pulau kecil di kepulauan Riau yang berbatasan dengan Singapura tenggelam akibat eksplorasi pasir untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Tindakan Singapura benar-benar menunjukkan sindrom negara kecil yang berbatasan dengan negara superluas seperti Indonesia.
Penjualan pasir ini seharusnya sudah harus diantisipasi jauh-jauh hari dengan dikeluarkannya berbagai peraturan yang mencegah habisnya pasir Indonesia. Namun sayangnya upaya-upaya ke arah ini belum dilakukan karena bisnis pasir, baik legal maupun ilegal, melibatkan beberapa pihak yang mendapatkan keuntungan finansial. Ketidakjelasan perbatasan di pulau-pulau terluar Indonesia menyebabkan pihak-pihak tersebut secara sadar maupun tidak, menjual negara kepada pihak asing. Maka RUU Perbatasan Negara menjadi kebutuhan yang urgensinya sangat tinggi untuk segera disahkan, bukan saja untuk mengatasi masalah perbatasan dengan Singapura tetapi juga dengan negara-negara lain yang memiliki masalah perbatasan dengan Indonesia. Keputusan Indonesia menghentikan pejualan pasir Singapura ini merupakan salah satu cara untuk menekan Singapura agar negara itu bersedia menandatangani perjanjian perbatasan yang selama ini diabaikan oleh Singapura.
Faktor lain, seperti yang dikemukakan oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Deplu, Primo Alui Joelianto, yang mendorong Indonesia menghentkan ekspor pasir ke Singapura adalah masalah ekstradisi. Telah diketahui bahwa selama ini Singapura selalu menolak menandatangani perjanjian ekstradisi yang sangat diperlukan oleh Indonesia dalam rangka pemberantasan korupsi. Singapura merupakan tempat pelarian para penjahat ekonomi Indonesia karena berbagai kemudahan dan keamanan yang ditawarkan negara tersebut atas aset pihak asing.
Menghadapi tuntutan ini, Singapura menyatakan adalah tanggungjawab Indonesia untuk menyelesaiakan sendiri urusannnya dengan para koruptor tersebut. Indonesia menuduh Singapura melindungi mereka karena Singapura diuntungkan dengan simpanan uang para koruptor di berbagai lembaga keuangan Singapura. Negara ini memetik keuntungan yang besar dengan masuknya “uang haram” yang dilarikan oleh para koruptor itu. Memang benar bahwa korupsi adalah masalah internal Indonesia. Namun tanpa bantuan Singapura, sistem hukum Indonesia tidak mampu menjangkau para penjahat tersebut karena mereka berada di luar batas yurisdksi hukum negara kita. Ketidaksediaan Singapura untuk bekerjasama dengan Indonesia merupakan ganjalan yang berpotensi menganggu dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Menteri Pertahanan (Menhan) menyatakan bahwa Indonesia tetap beranggapan bahwa penetapan batas wilayah laut akan ditarik dari base point (titik dasar) masing-masing negara. Pada rapat kerja dengan Komisi I DPR guna membahas ratifikasi perjanjian batas wilayah laut Indonesia-Singapura, Purnomo menjelaskan, Pulau Nipah di dekat Batam akan menjadi base point bagi Indonesia untuk menetapkan batas wilayah laut dengan Singapura. Dari pulau tersebut, akan ditarik garis pangkal ke Pulau Karimun Kecil. Penghitungan batas wilayah kedua negara ini tidak membenarkan hasil reklamasi yang dilakukan Singapura. Indonesia menggunakan referensi titik dasar Indonesia di Pulau Nipah dan garis pangkal kepulauan Indonesia yang ditarik dari Pulau Nipa ke Pulau Karimun kecil.
Pada kesempatan sama, Menteri Luar Negeri Marty Legawa mengungkapkan bahwa belum seluruhnya titik-titik perbatasan laut Indonesia-Singapura disepakati. Dijelaskannya, titik perbatasan laut yang belum disepakati antara lain di wilayah timur Singapura dengan Pulau Batam, karena adanya sengketa kepemilikan Pulau Batu Puteh antara Singapura dengan Malaysia. Proses perundingan segmen timur belum dimulai karena Singapura ada sengketa wilayah dengan Malaysia yang berdampak ke Indonesia.
Namun demikian Marty memegaskan bahwa perundingan untuk mencapai kesepakatan sudah mulai digelar. Mantan juru bicara Kementrian Luar Negeri itu menambahkan, kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyonmo pekan lalu ke Singapura, juga dalam rangka membahas soal itu.
Permasalahan muncul setelah Singapura dengan gencar melakukan reklamasi pantai di wilayahnya. Sehingga terjadi perubahan garis pantai ke arah laut (ke arah perairan Indonesia) yang cukup besar. Bahkan dengan reklamasi, Singapura telah menggabungkan beberapa pulaunya menjadi daratan yang luas. Untuk itu batas wilayah perairan Indonesia – Singapura yang belum ditetapkan harus segera diselesaikan, karena bisa mengakibatkan masalah di masa mendatang. Singapura akan mengklaim batas lautnya berdasarkan Garis Pangkal terbaru, dengan alasan Garis Pangkal lama sudah tidak dapat diidentifikasi. Namun dengan melalui perundingan yang menguras energi kedua negara, akhirnya menyepakati perjanjian batas laut kedua negara yang mulai berlaku pada 30 Agustus 2010. Batas laut yang ditentukan adalah Pulau Nipa dan Pulau Tuas, sepanjang 12,1 kilometer. Perundingan ini telah berlangsung sejak tahun 2005, dan kedua tim negosiasi telah berunding selama delapan kali. Dengan demikian permasalahan berbatasan laut Indonesia dan Singapura pada titik tersebut tidak lagi menjadi polemik yang bisa menimbulkan konflik, namun demikian masih ada beberapa titik perbatasan yang belum disepakati dan masih terbuka peluang terjadinya konflik kedua negara

AKAR MASALAH DAN SOLUSI
Akar Masalah Perbatasan Indonesia – Singapura
Salah satu persoalan yang paling mendasar dan krusial yang memicu konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara  tetangga. Bukan hanya dengan Malaysia Indonesia bersengketa mengenai perbatasan dan klaim pulau seperti yang kebanyakan diketahui oleh kalangan masyarakat, namun dengan Singapura pun Indonesia mempunyai masalah dalam perbatasan negara baik maritim maupun pasir.
Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dimaksud antara lain:
a)      Ketidaksepahaman mengenai garis perbatas-an antar negara yang banyak yang belum tersele-saikan melalui mekanisme perundingan
b)      Peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di  kawa-san ini, maupun dari luar kawasan.
c)      Eskalasi   aksi   terorisme   lintas   negara,   dan   gerakan   separatis   bersenjata   yang   dapat  mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga.
Masalah yang timbul dalam penetapan batas wilayah antara Indonesia dengan Singapura adalah reklamasi pantai yang selalu dilakukan Singapura sejak melepaskan diri dari Federasi Malaysia untuk memperluas wilayahnya. Luas wilayah singapura pada awalnya adalah 580 km2, dan pada tahun 2005 jumlahnya bertambah menjadi 699 km2. Hal itu menandakan luas wilayah Singapura selama hampir 40 tahun bertambah 199 km2. Luas Selat Singapura juga makin berkurang, tidak mencapai 24 mil laut yang sudah menjadi ketetapan internasional. Sejumlah pihak mengkhawatirkan reklamasi pantai yang dilakukan Singapura karena akan merubah wilayah batas kedua negara yang sudah disetujui pada tahun 1973.
Daratan Singapura, menjadi maju 12 km dari original base line perjanjian perbatasan sebelumnya. Pihak Indonesia juga khawatir dengan majunya daratan Singapura, dikhawatirkan penetapan batas wilayah di Selat Singapura juga akan berubah. Sebenarnya, jika kita merujuk pada Pasal 6 ayat 8 UNCLOS 1982 pihak Indonesia tidak perlu khawatir.
Pasir yang diambil kebanyakan berasal dari pulau-pulau di Kepulauan Riau. Pelarangan ekspor pasir dari Riau ke Singapura sebenarnya telah keluarkan oleh pemerintah Indonesia di tahun 2002, setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 2/2002. Pelarangan itu tidak bertahan lama, karena penambangan pasir di Riau kembali dibuka setelah DPR membentuk Tim Pengawasan Pasir Laut. Maret 2003, penambangan pasir ini kembali ditutup oleh pemerintah setelah Menteri Perindustrian dan Perdagangan, Rini Suwandi mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 117/MPP/Kep/II/2003
Revisi dari Traktat London ini membuat adanya perbatasan baru antara Singapura yang saat itu masih tergabung dalam wilayah Malaysia dengan Indonesia. Tidak hanya memunculkan perbatasan baru bagi Singapura dengan Indonesia, namun juga merupakan awal terpisahnya Tanah Melayu dan Indonesia secara politik. Setelah adanya Traktat London atau Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands, membuat Singapura menjadi semakin maju, banyak kapal-kapal internasional dan domestik lebih memilih Singapura daripada Batavia karena banyak kebutuhan yang dapat ditemukan di Singapura, ketimbang Batavia. Semenjak itu Selat Singapura menjadi jalur lalu lintas perdagangan laut antara India dengan Cina atau Asia Barat dengan Asia Tenggara dan Timur.
Masalah perbatasan kemudian menjadi semakin runyam setelah Singapura melepaskan diri dari Federasi Malaysia tahun 1965. Pangkal masalahnya adalah lebar Selat Singapura yang tidak mencapai 24 mil sebagai persyaratan dari Konvensi Hukum Laut PBB. Konvensi Hukum Laut PBB ini berisi batas wilayah teritorial laut suatu negara ditarik 12 mil laut yang ditarik dari pangkal pulau terdepan suatu negara. Hal ini merupakan gagasan yang dirancang Panitia Pringadi atas perintah Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamijoyo yang melahirkan Deklarasi Djuanda 1957. Beberapa masalah kemudian menjadi pengganjal untuk menetapkan daerah perbatasan Indonesia-Singapura. Salah satu masalah besar itu adalah reklamasi pantai yang dilakukan Singapura untuk memperluas wilayahnya.
Di masa-masa setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1950, pemerintah saat itu belum memprioritaskan untuk membenahi masalah perbatasan dengan Malaya. Ada tigal hal yang menyebabkan hal itu bisa terjadi. Pertama, pemerintah lebih berkonsentrasi mengurus masalah dalam negeri daripada luar negeri. Kedua, masalah New Guinea (Irian Barat) yang masih masuk dalam cengkraman Belanda, dan dibahas setelah KMB. Ketiga, pemerintahan Malaya juga menghadapi masalah dalam negeri dalam hubungannya dengan Inggris yang menjajah mereka.
Masalah perbatasan Indonesia mulai mendapat perhatian di masa Kabinet Ali Sastroamijoyo II (24 Maret 1956 – 14 Maret 1957). Batas wilayah laut di Indonesia pada saat itu masih diatur dengan undang-undang ‘warisan’ Belanda, Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939. Ordonantie yang dikeluarkan tahun 1939 ini mengatur bahwa jarak teritorial bagi tiap-tiap pulau di Indonesia adalah tiga mil dari garis pantai masing-masing pulau. Peraturan itu membuat banyak wilayah laut bebas di antara pulau-pulau yang ada di Indonesia. Gagasan untuk mengubah Ordonantie 1939 muncul atas desakan dari beberapa departemen yang merasa hukum laut warisan Belanda itu tidak dapat melindungi keutuhan wilayah Negara Indonesia. Setelah itu Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo membentuk sebuah tim yang ditugaskan untuk membuat Rancangan Undang-Undang tentang Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Tim yang berdiri berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956 itu dipimpin oleh Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi.
Panitia Pirngadi, setelah hampir satu tahun lebih, dapat menyelesaikan rencana RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Sebagian besar isi dari RUU itu hampir sama dengan Ordonantie 1939, namun memiliki perbedaan di garis territorial yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil laut. RUU tersebut belum sempat disetujui, karena Kabinet Ali II kemudian bubar, dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Kabinet Djuanda masih melanjutkan RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim, dengan menugaskan Mr. Mochtar Kusumaatmaja untuk mencari dasar hukum untuk mempertahankan wilayah Republik Indonesia. Ir. Djuanda mempunyai pemikiran bahwa RUU tersebut harus segera diratifikasi, karena banyak kapal Belanda yang melakukan intervensi dari dan menuju New Guinea. Gagasan yang digunakan Mr. Mochtar Kusumaatmaja adalah menggunakan konsep asas negara kepulauan atau asas archipelago. Gagasan tersebut diterima pada saat sidang parlemen pada tanggal 13 Desember 1957. Kemudian pemerintah mengeluarkan pengumuman sebagai berikut: “segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia ”.
Pemisahan antara Singapura dan Malaysia, membuat Indonesia menghadapi masalah baru dalam hal perbatasan wilayah. Sebelumnya, masalah ini dapat diselesaikan secara bilateral, namun sekarang menjadi sulit karena Singapura dan Malaysia tidak ada di dalam satu kepemimpinan lagi. Selain itu, Singapura dan Malaysia juga mempunyai perbedaan dalam sikap politiknya terkait pengaturan batas wilayah dengan Indonesia. Usaha mengatasi permasalahan wilayah perbatasan dengan wilayah negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia, mulai dijalankan di masa pemerintahan Presiden Soeharto. Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri saat itu ditugaskan untuk melakukan pembicaraan dan kesepakatan dengan Malaysia pada 1969. Masalah yang menjadi pembahasan saat itu adalah Garis Batas Landas Kontinen di Selat Malaka dan Laut Cina Selatan. Penyelesaian batas laut itu ditetapkan dengan mencapai titik tengah antara garis batas terluar pada saat air laut surut di masing-masing pantai. Cara itu kemudian disetujui oleh kedua belah pihak, dengan menambahkan beberapa cara lain pada 1970, dan mengikutsertakan Thailand dalam persetujuan ini di tahun 1971.

Solusi Masalah Perbatasan Indonesia – Singapura
Untuk mengamankan kebijakan pemerintah dalam masalah wilayah perbatasan, pemerintah mengeluarkan UU No. 1 tahun 1973 yang berisi tentang Landasan Kontinen Indonesia, semua kekayaan yang ada di dalam Landasan Kontinen Indonesia merupakan hak milik pemerintah Indonesia. Tidak hanya itu, daerah perbatasan juga akan mulai diberdayakan, seperti Pulau Batam yang berbatasan langsung dengan Singapura.
Selat Singapura yang lebarnya tidak terlalu luas, menjadi masalah tersendiri bagi UU nomor 1 tahun 1973. Singapura yang juga dikelilingi pulau-pulau kecil disekitarnya dalam menarik garis batas perlu ketelitian agar tidak mendapatkan protes dari pemerintah Singapura. Beberapa perundingan dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini, kesepakatan pun terjadi pada Mei 1973, dengan ditandatanganinya Garis Batas Laut Wilayah di Jakarta. Untuk menetapkan garis awal perbatasan dan karena jarak Selat Singapura yang sempit, maka akhirnya diambil keputusan untuk mengambil batas kedua negara dari wilayah atau pulau terdepan masing-masing negara. Dengan melihat dari Wawasan Nusantara yang sudah menjadi bagian dari ketetapan UNCLOS, maka beberapa langkah kemudian dilakukan pemerintah Indonesia untuk menghadapi persoalan perbatasan dengan Singapura. Namun di sisi lain, ketetapan UNCLOS ini membuat beberapa pulau-pulau kecil yang ada di garis luar batas wilayah lautan yang berpotensi menimbulkan konflik.
Disetujuinya Perjanjian Penetapan Perbatasan Indonesia – Singapura di Bagian Barat Selat Singapura. Sebagai bentuk kelanjutan dari diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dan Singapura, pada Maret 2009, perjanjian batas laut antara kedua negara ditandatangani di Jakarta. Pembicaraan tentang perjanjian ini sudah dilakukan sejak tahun 2005, untuk menyelesaikan batas wilayah Indonesia-Singapura di bagian barat Selat Singapura, antara perairan Tuas dan Nipah. Sementara untuk wilayah tengah dan timur, masih dalam tahap penyelesaian, karena memerlukan kajian yang lebih mendalam. Disetujuinya perjanjian batas laut ini, diharapkan dapat mempertegas posisi Pulau Nipah sebagai  titik dasar yang digunakan dalam pengukuran batas maritim Republik Indonesia dengan Singapura.
Penetapan batas laut wilayah Indonesia dan Singapura ini memiliki beberapa keuntungan. Selain adanya kejelasan batas wilayah kedua negara tersebut, keuntungan lain adalah, memudahkan upaya pengawasan dan penegakan kedaulatan negara di wilayah tersebut, memudahkan upaya Indonesia sebagai negara pantai untukmenjamin keselamatan jalur navigasi di Selat Singapura, dan meningkatkan hubungan baik kedua negara. Dalam menetapkan perjanjian ini, pemerintah Indonesia menolak mengakui wilayah reklamasi Singapura, dan menggunakan perjanjian tahun 1973 sebagai sumber. Menurut Pasal 60 Ayat 8 UNCLOS disebutkan bahwa, “pulau buatan, instalasi, dan bangunan tidak mempunyai status pulau dan laut teritorialnya sendiri, maka kehadirannya tidak memengaruhi penetapan batas laut teritorial, Zona Ekonomi Eksklusif, dan landasan kontinen.”

Sumber : http://tutisp.blogspot.com/2013/05/ketahanan-nasional-di-wilayah.html
                  http://ayu-maha.blogspot.com/2012/11/ketahanan-nasional-indonesia-dalam.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar